PENGGOLONGAN AHLI WARIS

A. PENGGOLONGAN AHLI WARIS BERDASARKAN HUKUM ISLAM
Ada tiga golongan menurut ajaran kewarisan.
A. Dzul faraa-idh, adalah ahli waris yang mendapat bagian tertentu jumlahnya, meliputi : anak perempuan yang tidak didampingi anak laki-laki, ibu, bapak, ada anak, duda, janda, saudara laki-laki dalam kalabah, saudara perempuan dalam kalalah, serta saudara laki-laki dan perempuan dalam kalalah.
B. Dzul Qarabat, adalah ahli waris yang mendapat bagian warisan yang tidak tentu jumlahnya, atau disebut juga mendapat bagian sisa atau ‘ashabah. Yaitu meliputi, anak laki-laki, anak perempuan yang didampingi anak laki-laki, bapak, saudara laki-laki dalam hal kalalah, saudara perempuan yang didampingi saudara laki-laki dalam hal kalalah.
C. Dzul Arfaam adalah ahli waris yang mendapat warisan jika dzul faraa’idh dan dzul Qarabat tidak ada.
Warisan diberikan kepada ahli waris berdasarkan urutan tingkatannya ( kepada tingkat pertama , kedua dan berikutnya ), bila tingkat pertama tidak ada , baru kepada tingkat yang berikutnya
Berikut ahli waris berdasarkan urutan dan derajatnya :
1. Ash-habul Furudh, golongan inilah yang pertama diberi bagian harta warisan sebelum yang lainnya, yaitu mereka yang ditetapkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ mendapatkan bagian dari harta waris dengan jumlah tertentu. Mereka ada dua belas orang ; 4 laki-laki dan 8 perempuan, yaitu :
1. Bapak, Kakek keatas, Suami dan Saudara laki-laki seibu
2. Istri, Anak perempuan, Saudari kandung, Saudari seayah, Saudari seibu, Putri anak laki-laki, Ibu dan Nenek keatas
Ahli Waris Ashabul furudh
Adalah ahli waris yang ditetapkan ahli syara’ memperoleh bagian tertentu dari al-furudhul. Muqaddaroh dalam pembagian harta peninggalan.
a.Anak perempuan
– 1/2 bila hanya seorang
– 2/3 bila ada 2 atau lebih
– sisa, berasama anak laki-laki dengan ketentuan menerima separuh bagian anak laki-laki.
b.Ayah
– sisa, bila tidak ada far’u (anak atau cucu)
– 1/6 bila bersama anak laki-laki
– 1/6 tambah sisa, jika bersama anak perempuan saja
– 2/3 sisa dalam masalah Garrawaian (ahli warisnya terdiri dari suami/istri, ibu dan ayah)

c.Ibu
– 1/6 bila ada anak 2 saudara atau lebih
– 1/3 bila tidak ada anak atau saudara dua dan atau bersama satu orang saudara saja.
– 1/3 sisa dalam, masalah garrawaian
d.Saudara perempuan seibu
– 1/6 satu orang tidak bersama anak dan ayah
– 1/3 dua orang atau lebih tidak bersama anak dan ayah, saudara-saudara seibu.
e.Saudara perempuan sekandung
– 1/2 satu orang, tidak ada anak dan ayah
– 2/3 dua orang atau lebih, tidak ada anak maupun ayah
– sisa, bersama saudara laki-laki sekandung, dengan ketentuan ia menerima separuh bagian saudara laki-laki
– sisa, karena ada anak atau cucu perempuan garis laki-laki.
f.Saudara perempuan seayah.
– satu orang, tidak ada anak dan ayah –
– 2/3 dua atau lebih, tidak ada anak dan ayah
– sisa, bersama saudara laki-laki seayah
– 1/6 bersama atau saudara perempuan sekandung
– sisa, karena ada anak cucu perempuan garis laki-laki.
g.Kakek
– 1/6 bila bersama anak atau cucu
– sisa, tidak ada anak atau cucu
– 1/6 + sisa, hanya bersama anak atau cucu perempuan.
– 1/3 dalam keadaan bersama saudara sekandung atau seayah
– 1/6, 1/3, sisa, bersama saudara-saudara sekandung seayah dan ahli waris lain dengan dengan ketentuan memilih yang menguntungkan.
– Contoh penentuan warisan :
Misal: Zainab meninggal dunia dengan meninggalkan suami, ibu, ayah, seorang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan, harta peninggalanya sebesar Rp. 48.000.000. berapa bagian masing-masing ?
Jawab: Suami bagianya 1/4 = 6/24
Ibu bagianya 1/6 = 4/24
Ayah bagianya 1/6 = 4/24
Anak ashobah 24/24 = 4/24
Pembagian suami 6/24 x Rp. 48.000.000 : Rp. 12.000.000
Istri 4/24 x Rp. 48.000.000 : Rp. 8.000.000
Ayah 4/24 x Rp. 48.000.000 : Rp. 8.000.000
Pembagian untuk ashobah 48.000.000 – 28.000.000 = 20.000.000
Anak laki-laki mendapat duakali bagian anakperempuan, mereka semua ada empat bagian.
Jadi, anak laki-laki 2/4 x 20.000.000 = 10.000.000 .
Masing-masing anak Pr. 1/4 x 20.000.000 = 5.000.000

2. ‘Ashabah An-Nasabiyah, setelah ash-haabul furuudh, golongan inilah yang mendapat giliran ke dua untuk mendapatkan bagian dari harta warisan, yaitu kerabat yang mempunyai hubungan nasab dengan mayit yang berhak mengambil seluruh harta waris bila sendiri, dan berhak mendapatkan sisa harta waris setelah dibagi kepada Ash-habul Furuudh.
Dan mereka ada 3 kelompok :
1. ‘Ashabah Bin-nafsi ( laki-laki ), mereka ialah :
1) Pihak Anak, yaitu Anak kebawah
2) Pihak Bapak, yaitu Bapak keatas
3) Pihak Saudara, yaitu Sudara kandung, Saudara sebapak, Anak paman kandung, Anak paman sebapak kebawah
4) Pihak Paman, yaitu Paman kandung, Paman sebapak, Anak paman kandung, Anak paman sebapak kebawah
2. ‘Ashabah Bil Ghoiri ( Perempuan ), mereka ialah :
1) Anak putri, apabila mempunyai saudara laki-laki
2) Putri anak laki-laki, apabila mempunyai saudara laki-laki
3) Saudari kandung, apabila mempunyai saudara laki-laki
4) Saudari sebapak, apabila mempunyai saudara laki-laki
3 ‘Ashabah Ma’al Ghoiri, yaitu Saudari-saudari kandung atau sebapak, apabila pewaris mayit mempunyai putri dan tidak mempunyai putra
3. Dikembalikan ke Ash-habul Furuudh/penambahan jatah bagi Ash-habul Furudh ( selain suami istri )
Apabila harta warisan yang telah dibagikan kepada Ash-haabul Furuudh dan ‘Ashabah diatas masih juga tersisa, maka sisa tersebut diberikan/ditambahkan kepada Ash-habul Furuudh selain suami istri ( sesuai dengan bagian masing-masing ), hal tersebut dikarenakan hak waris suami istri disebabkan adanya ikatan pernikahan, sedangkan hak waris bagi Ash-habul Furuudh selain suami istri disebabkan karena nasab, yang karenanya lebih berhak dibandingkan yang lainnya.
4. Ulul Arhaam/kerabat, yaitu kerabat mayit yang ada kaitan rahim – dan tidak termasuk Ash-habul Furuudh dan juga bukan ‘Ashabah -, seperti paman dan bibi dari fihak ibu, bibi dari fihak ayah.
Apabila amayit tidak mempunyai kerabat sebagai Ashaabul Furuudh maupun ‘Ashabah, maka para kerabat yang masih mempunyai ikatan rahim dengannya berhak mendapatkan waris, berdasarkan firman Allah :
و أولوا الأرحام بعضهم أولي ببعض
Artinya : “ Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak ( waris mewarisi ) “ ( QS. 33 : 6 )
Dan sebagaimana sabda Rasulullah saw :
الخال وارث من لا وارث له
Artinya : “ Paman dari fihak ibu adalah pewaris bagi yang tidak mempunyai ahli waris :” ( HR. Ahmad, Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah , Hakim dan Ibnu Hibban )
5. Dikembalikan/ditambahkan kepada bagian suami istri
6. ‘Ashabah karena sebab, ada beberapa bentuk yang disebut dengan ‘Ashabah karena sebab :
1. Orang yang memerdekakan budak, tetapi untuk bagian ini tidak ada lagi pada masa kini
2. Orang yang diberikan wasiat lebih dari sepertiga harta warisan ( selain ahli waris )
3. Baitul Maal, Rasulullah saw bersabda :
الله و رسوله مولي من لا مولي له
Artinya : “ Allah dan Rasul-Nya merupakan maula bagi yang tidak mempunyai maula “, maksudnya ialah pewaris bagi yang tidak mempunyai ahli waris ( HR. Ahmad dan yang lainnya).

B. PENGGOLONGAN AHLI WARIS BERDASARKAN HUKUM PERDATA
Mewaris berdasarkan UU KUHPerdata (ab intestato)
• Atas dasar kedudukan sendiri. Dalam hal ini penggolongan ahli waris berdasarkan garis keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam KUHPerdata, antara lain :
1. Golongan 1, sebagaimana disebutkan pada Pasal 852 sampai Pasal 852a KUHPerdata;
2. Golongan II, sebagaimana disebutkan pada Pasal 855 KUHPerdata;
3. Golongan III, sebagaimana disebutkan pada Pasal 850 jo 858 KUHPerdata; dan
4. Golongan IV, sebagaimana disebutkan pada Pasal 858 sampai dengan Pasal 861 KUHPerdata.
• Atas dasar penggantian. Dalam hal ini penggantian disyaratkan apabila orang yang digantikan telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris. Jadi, syarat penggantiannya : orang yang digantikan telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris Adapaun macam-macam penggantian diantaranya adalah :
1. Dalam garis lengcang ke bawah tanpa batas, sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 842 KUHPerdata;
2. Dalam garis menyamping, saudara digantikan anak-anaknya sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 844 KUHPerdata; dan
3. Penggantian dalam garis samping dalam hal ini yang tampil adalah anggota keluarga yang lebih jauh tingkat hubungannya daripada saudara, misalnya paman, bibi atau keponakan.
NB: Penjelasan Pasal
Golongan I
Pasal 852
Anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dan berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orangtua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga-keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu. Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala, bila dengan yang meninggal mereka semua bertalian keluarga dalam derajat pertama dan masing-masing berhak karena dirinya sendiri; mereka mewarisi pancang demi pancang, bila mereka semua atas sebagian mewarisi sebagai pengganti.
Pasal 852a
Dalam hal warisan dan seorang suami atau isteri yang telah meninggal lebih dahulu, suami atau isteri yang ditinggal mati, dalam menerapkan ketentuan-ketentuan bab ini, disamakan dengan seorang anak sah dan orang yang meninggal, dengan pengertian bahwa bila perkawinan suami isteri itu adalah perkawinan kedua atau selanjutnya, dan dari perkawinan yang dulu ada anak-anak atau keturunan-keturunan anak-anak itu, suami atau isteri yang baru tidak boleh mewarisi lebih dan bagian terkecil yang diterima oleh salah seorang dan anak-anak itu, atau oleh semua keturunan penggantinya bila ia meninggal lebih dahulu, dan bagaimanapun juga bagian warisan isteri atau suami itu tidak boleh melebihi seperempat dan harta peninggalan si pewaris.
Bila untuk kebahagiaan suami atau isteri dan perkawinan kedua atau pekawinan yang berikutnya telah dikeluarkan wasiat, maka bila jumlah bagian yang diperoleh dan pewarisan pada kematian dan bagian yang diperoleh dan wasiat melampaui batas-batas dan jumlah termaktub dalam alinea pertama, bagian dan pewarisan pada kematian harus dikurangi sedemikian, sehingga jumlah bersama itu tetap berada dalam batas-batas itu. Bila penetapan wasiat itu, seluruhnya atau sebagian, terdiri dan hak pakai hasil, maka harga dan hak pakai hasil itu harus ditaksir, dan jumlah bersama termaksud dalam alinea yang lalu harus dihitung berdasarkan harga yang ditaksir itu. Apa yang dinikmati suami atau isteri yang berikut menurut pasal ini harus dikurangkan dalam menghitung apa yang boleh diperoleh suami atau isteri itu atau diperjanjikan menurut Bab VIII Buku Pertama.
Golongan Kedua
Pasal 855
Bila seseorang meninggal tanpa meninggalkan keturunan dan suami atau isteri, dan bapak atau ibunya telah meninggal lebih dahulu daripada dia, maka bapaknya atau ibunya yang hidup terlama mendapat separuh dan harta peninggalannya, bila yang mati itu meninggalkan saudara laki-laki atau perempuan hanya satu orang saja; sepertiga, bila saudara laki-laki atau perempuan yang ditinggalkan dua orang; seperempat bagian, bila saudara laki-laki atau perempuan yang ditinggalkan lebih dan dua. Sisanya menjadi bagian saudara laki-laki dan perempuan tersebut.
Golongan Ketiga
Pasal 850
Semua warisan, baik yang seluruhnya maupun sebagian jatuh pada giliran pembagian untuk keluarga dalam garis ke atas atau garis ke samping, harus dibelah menjadi dua bagian yang sama; belahan yang satu dibagikan kepada keluarga sedarah dan garis ayah yang masih ada, dan belahan yang lain kepada garis ibu yang masih ada, tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Pasal 854 dan 859. Warisan itu tidak boleh beralih dan garis yang satu ke garis yang lain, kecuali bila dalam salah satu dan kedua garis itu tidak ada seorang pun keluarga sedarah, baik dalam garis ke atas maupun dalam garis ke samping
Pasal 858
Bila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan juga tidak ada keluarga sedarah yang masih hidup dalam salah satu garis ke atas, maka separuh harta peninggalan itu menjadi bagian dan keluarga sedarah dalam garis ke atas yang masih hidup, sedangkan yang separuh lagi menjadi bagian keluarga sedarah dalam garis ke samping dan garis ke atas lainnya, kecuali dalam hal yang tercantum dalam pasal berikut. Bila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan keluarga sedarah yang masih hidup dalam kedua garis ke atas, maka keluarga sedarah terdekat dalam tiap-tiap garis ke samping masing-masing mendapat warisan separuhnya. Bila dalam satu garis ke samping terdapat beberapa keluarga sedarah dalam derajat yang sama, maka mereka berbagi antara mereka kepala demi kepala tanpa mengurangi ketentuan dalam Pasal 845.
Pasal 845
Penggantian juga diperkenankan dalam pewarisan dalam garis ke samping, bila di samping orang yang terdekat dalam hubungan darah dengan orang yang meninggal, masih ada anak atau keturunan saudara laki-laki atau perempuan dan mereka yang tersebut pertama.
Golongan Keempat
Pasal 861
Keluarga-keluarga sedarah yang hubungannya dengan yang meninggal dunia itu lebih jauh dan derajat keenam dalam garis ke samping, tidak mendapat warisan. Bila dalam garis yang satu tidak ada keluarga sedarah dalam derajat yang mengizinkan untuk mendapat warisan, maka keluarga-keluarga sedarah dalam garis yang lain memperoleh seluruh warisan.
Garis Lencang kebawah tanpa batas:
Pasal 842
Penggantian yang terjadi dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus tanpa akhir. Penggantian itu diizinkan dalam segala hat, baik bila anak-anak dan orang yang meninggal menjadi ahli waris bersama-sama dengan keturunan-keturunan dan anak yang meninggal lebih dahulu, maupun bila semua keturunan mereka mewaris bersama-sama, seorang dengan yang lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya.
Garis Menyamping:
Pasal 844
Dalam garis ke samping, penggantian diperkenankan demi keuntungan semua anak dan keturunan saudara laki-laki dan perempuan orang yang meninggal, baik jika mereka menjadi ahli waris bersama-sama dengan paman-paman atau bibi-bibi mereka, maupun jika warisan itu, setelah meninggalnya semua saudara yang meninggal, harus dibagi di antara semua keturunan mereka, yang satu sama larnnya bertalian keluarga dalam derajat yang tidak sama

HUKUM MEMPELAJARI DAN MENGAJARKAN FARAID

Dalam ayat-ayat Mawaris Allah menjelaskan bagian setiap ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, menunjukkan bagian warisan dan syarat-syaratnya menjelaskan keadaan-keadaan dimana manusia mendapat warisan dan dimana ia tidak memperolehnya, kapan ia mendapat warisan dengan penetapan atau menjadi ashobah (menunggu sisa atau mendapat seluruhnya) atau dengan kedua-duanya sekaligus dan kapan ia terhalang untuk mendapatkan warisan sebagian dan seluruhnya.
Begitu besar derajat Ilmu Faraidh bagi umat Islam sehingga oleh sebagian besar ulama dikatakan sebagai separoh Ilmu. Hal ini didasarkan kepada hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i dan Daru Quthni:
“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang-orang, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah ilmu itu kepada orang-orang, karena aku adalah manusia yang akan direnggut (wafat), sesungguhnya ilmu itu akan dicabut dan akan timbul fitnah hingga kelak ada dua orang berselisihan mengenai pembagian warisan, namun tidak ada orang yang memutuskan perkara mereka”.
Hadits ini menempatkan perintah mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh sejalan dengan perintah mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an. Ini tidak lain menunjukkan bahwa ilmu faraidh merupakan cabang ilmu yang cukup penting dalam rangka mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Lagipula tidak jarang naluriah menusia cenderung materialistik, serakah, tidak adil, dan mengorbankan kepentingan orang lain demi memenangkan hak-haknya sendiri. Maka disinilah letak pentingnya kegunaan ilmu mawaris, hingga wajib dipelajari dan diajarkan. Agar di dalam pembagian warisan, setiap orang mentaati ketentuan yang telah diatur dalam al-Qur’an secara detail
Hadis tersebut juga menunjukkan bahwa Rasulullah saw, memerintahkan kepada umat Islam untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh, agar tidak terjadi perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta peninggalan, disebabkan ketiadaan ulama faraidh. Perintah tersebut mengandung perintah wajib. Kewajiban mempelajari dan mengajarkan ilmu itu gugur apabila ada sebagian orang yang telah melaksanakannya. Jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka seluruh umat Islam menanggung dosa, disebabkan melalaikan suatu kewajiban.
Selain hadits di atas, di bawah ini juga beberapa hadits Nabi saw. yang menjelaskan beberapa keutamaan dan anjuran untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu faraid:

– Abdullah bin Amr bin al-Ash ra. berkata bahwa Nabi saw. bersabda, “Ilmu itu ada tiga, selain yang tiga hanya bersifat tambahan (sekunder), yaitu ayat-ayat muhakkamah (yang jelas ketentuannya), sunnah Nabi saw. yang dilaksanakan, dan ilmu faraid.” (HR Ibnu Majah)
– Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi saw. bersabda, “Pelajarilah ilmu faraid serta ajarkanlah kepada orang lain, karena sesungguhnya, ilmu faraid setengahnya ilmu; ia akan dilupakan, dan ia ilmu pertama yang akan diangkat dari umatku.” (HR Ibnu Majah dan ad-Darquthni)

– Dalam riwayat lain disebutkan, “Pelajarilah ilmu faraid, karena ia termasuk bagian dari agamamu dan setengah dari ilmu. Ilmu ini adalah yang pertama kali akan dicabut dari umatku.” (HR Ibnu Majah, al-Hakim, dan Baihaqi)

Karena pentingnya ilmu faraid, para ulama sangat memperhatikan ilmu ini, sehingga mereka seringkali menghabiskan sebagian waktu mereka untuk menelaah, mengajarkan, menuliskan kaidah-kaidah ilmu faraid, serta mengarang beberapa buku tentang faraid. Mereka melakukan hal ini karena anjuran Rasulullah saw. diatas.
Umar bin Khattab telah berkata, “Pelajarilah ilmu faraid, karena ia sesungguhnya termasuk bagian dari agama kalian.” Kemudian Amirul Mu’minin berkata lagi, “Jika kalian berbicara, bicaralah dengan ilmu faraid, dan jika kalian bermain-main, bermain-mainlah dengan satu lemparan.” Kemudian Amirul Mu’minin berkata kembali, “Pelajarilah ilmu faraid, ilmu nahwu, dan ilmu hadits sebagaimana kalian mempelajari Al-Qur’an.”

Ibnu Abbas ra. berkomentar tentang ayat Al-Qur’an yang berbunyi, “…Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Al-Anfaal – 73), menurut beliau makna ayat diatas adalah jika kita tidak melaksanakan pembagian harta waris sesuai yang diperintahkan Allah swt. kepada kita, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.

Abu Musa al-Asy’ari ra. berkata, “Perumpamaan orang yang membaca Al-Qur’an dan tidak cakap (pandai) di dalam ilmu faraid, adalah seperti mantel yang tidak bertudung kepala.”

Demikianlah, ilmu faraid merupakan pengetahuan dan kajian para sahabat dan orang-orang shaleh dahulu, sehingga menjadi jelas bahwasanya ilmu faraid termasuk ilmu yang mulia dan perkara-perkara yang penting di mana sandaran utama ilmu ini ialah dari Al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya.
Masalah harta peninggalan biasanya menjadi sumber sengketa dalam keluarga. Terutama apabila menentukan siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak menerima. Dan juga seberapa banyak haknya. Hal ini mnimbulkan perselisihan dan akhirnya menimbulkan keretakan kekeluargaan. Orang ingin berlaku seadil-adilnya, tetepi belum tentu orang lain menganggap adil.
Oleh karena itu, didalam Islam memberikan ketentuan-ketentuan yang konkret mengenai hak waris. Sehingga apabila dilandasi ketaqwaan kepada Alloh SWT semuanya akan berjalan lancar dan tidak akan menimbulkan sengketa, bahkan kerukunan keluargapun akan tercapai. Ketentuan dari Alloh SWT itu sudah pasti. Bagian-bagian dari siapa yang mendapatkan sudah ditentukan . Semua kebijaksanaan dalam hal ini adalah dari Alloh SWT. Disamping itu, adalah kewajiban umat Islam untuk mengetahui ketentuan-ketentuan yang telah diberikan oleh Alloh SWT.
Nabi Muhammad SAW bersabda : ”Bagilah harta benda diantara ahli-ahli waris menurut Kitabullah. (HR. Muslim Dan Abu Dawud).
Disamping itu Allah berfirman :

“ Dan siapa yang melanggar Alloh dan Rosul-Nya melampaui batas ketentuannya, Alloh akan memasukannya kedalam api neraka, ia kekal disitu, dan iapun mendapatkan siksa yang menghinakan.” (QS. An-Nisa : 14).

Dengan demikian semuanya termasuk apabila terdapat perselisihan, di kembalikan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Sehingga tidak ada celah-celah untuk saling sengketa dan bertengkar. Dan karena itu kekeluargaan dan hubungan kefamilian tetap terbina dengan baik serta rukun dan tenteram. Di dalam hal ini, Islam memberikan prinsip-prinsip antara lain :
1) Kepentingan dan keinginan orang yang meninggal (yang semula memiliki harta benda) diperhatikan selayaknya, dengan memberikan hak wasiat, biaya pemakaman dan sebagainya.
2) kepentingan keluargayang ditinggal. Terutama anak cucu mendapatkan perhatian lebih banyak, juga ayah ibu, disamping anggota keluarga yang lain. Seimbang dengan jauh dekatnya hubungan keluarga.
3) Keseimbangan kebutuhan nyata dan rata-rata dari tiap-tiap ahli waris mendapat perhatian yang seimbang pula, ahli waris pria yang nyatanya memerlukan lebih banyak biaya hidup bagi diri dan keluarganya mendapat bagian lebih banyak dari ahli waris wanita.
4) Beberapa hal yang berhubungan dengan kesalahan-kesalahan ahli waris dan yang berhubungan dengan itikad keagamaan, bisa menimbulkan akibat hilangnya hak waris, umpamanya pembunuhan, perbedaan agama dan sebagainya.
Prinsip-prinsip tersebut dibuat dengan maksud :
a) Harta benda yang merupakan Rahmat Allah itu diatur menurut ajaran-Nya.
b) Harta benda yang didapat dengan susah payah oleh almarhum tidak menimbulkan percekcokan keluarga yang hanya tinggal menerima saja.
c) Harta benda itu dapat dimanfaatkan dengan tenang, tenteram, sesuai dengan tuntunan Allah SWT.
Jadi, hukum waris harus dilaksanakan, kecuali kalau semua ahli waris sepakat dengan sukarela untuk membagi harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan tidak dengan maksud untuk menentang hukum Allah SWT, tetapi ada sebab-sebab lain, misalnya : harta waris diberikan kepada Ibu yang sudah tua dengan bagian terbanyak, dan sebagainya. Meskipun demikian, Islam tidak menutup pintu perdamaian antara seluruh ahli waris yang secara sepakat untuk mengatur pembagian harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan. Juga setiap ahli waris berhak meminta atau menerima pembagian harta waris karena kesukarelaannya sendiri.

AHLI WARIS YANG TIDAK TERHALANG

A. Ahli Waris yang tidak Terhalang menurut KUH Perdata
Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat.
Dasar hukum seseorang ahli waris mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sisten hukum waris BW ada dua cara, yaitu:
a. menurut ketentuan undang-undang;
b. ditunjuk dalam surat wasiat (testamen).
Undang-undang telah menentukan bahwa untuk melanjutkan kedudukan hukum seseorang yang meninggal, sedapat mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-undang berprinsip bahwa seseorang bebas untuk menentukan kehendaknya tentang harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia.
Akan tetapi apabila ternyata seorang tidak menentukan sendiri ketika ia hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya maka dalam hal demikian undang-undang kembali akan menentukan perihal pengaturan harta yang ditinggalkan seseorang tersebut.
Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi ahli waris, yaitu: Isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut undang undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:
a. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan / atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan / hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami / isteri tidak saling mewarisi;
b. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersamasama saudara pewaris;
c. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris;
d. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.
Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam dalam garis lurus ke atas maupun ke samping. Demikian pula golongan yang lebih tinggiderajatnya menutup yang lebih rendah derajatnya.
B. Ahli Waris yang tidak Terhalang menurut Hukum Islam
Dalam hukum islam ahli waris yang tidak pernah terhalng disebut dengan kerabat Utama. Kerabat utama terdiri dari ibu, bapak, janda/duda, anak perempuan dan anak laki-laki. Pihak;pihak ini mempunyai tingkat prioritas yang sama sebagai ahli waris. Artinya, keberadaan salah satu di antara mereka tidak menutup hak yang lainnya. Kalaupun ada, itu hanya sebatas mengurangi hak pihak tertentu sebagai akibat munculnya hak bagi pihak lainnya.
Adapun uraian tentang bagian waris para ahli waris utama adalah sebagai berikut:
a. Janda / Duda
Di daam hukum waris islam, bagian waris untuk duda dengan janda tidak sama, yaitu sebagai berikut :
1. Janda
Bagian janda adalah:
– 1/8 bagian jika pewaris mempunyai anak.
– ¼ bagian jika pewaris tidak mempunyai anak.
Dasar hukumnya adalah sebagai berikut.
….jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan….(QS. An-Nisa’ [4]: 12)
….para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak….(QS. An-Nisa’ [4]: 12)
2. Duda
Bagian duda adalah:
a) ¼ bagian jika pewaris mempunyai anak.
b) ½ bagian jika pewaris tidak mempunyai anak.
Dasar hukumnya adalah:
…jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang di tinggalkannya….(QS. An-Nisa’ [4]: 12)
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka mempunyai anak….(QS. An-Nisa’ [4]: 12)
b. Ibu
Bagian ibu adalah:
a. 1/6 bagian jika pewaris mempunyai anak
b. 1/6 bagian jika pewaris mempunyai beberapa saudara
c. 1/3 bagian jika pewaris tidak mempunyai anak.
Dasar hukumnya adalah sebagai berikut:
…dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak….(QS. An-Nisa’ [4]: 11)
…jika yang meninggal itu mempunayi beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam….(QS. An-Nisa’ [4]: 11)
…jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga….(QS. An-Nisa’ [4]: 11)

c. Bapak
Bagian bapak adalah:
a. 1/6 bagian jika pewaris mempunya anak
b. 1/6 bagian + sisa jika pewaris hanya mempunyai anak perempuan.
c. Sisa jika tidak mempunyai anak.
Dasar hukumnya adalah sebagai berikut:
… dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak….(QS. An-Nisa’ [4]: 11)
…jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga….(QS. An-Nisa’ [4]: 11)
d. Anak perempuan
Bagian anak perempuan adalah
a. ½ bagian jika seorang
b. 2/3 bagian jika beberapa orang
c. Masing-masing 1 bagian dari sisa jika mereka mewaris bersama anak laki-laki. Dalam hal ini, kedudukan anak perempuan adalah ashabah bil-ghair.
Dasar hukumnya sebagai berikut:
…jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta….(QS. An-Nisa’ [4]: 11)
…dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan….(QS. An-Nisa’ [4]: 11)
…bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….(QS. An-Nisa’ [4]: 11)
e. Anak laki-laki
Bagian anak laki-laki adalah:
a. Masing-masing 1 bagian dari sisa jika mereka mewaris brsama dengan anak laki-laki lainnya. Dalam hal ini, kedudukan anak laki-laki adalah ashabah binnafsih.
b. Masing-masing dua bagian dari sisa jika mereka mewaris bersama anak perempuan. Dlam hal ini, kedudukan anak perempuan adalah sebagai ashabah bil-ghair.
Dasar hukumnya adalah:
…bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan….(QS. An-Nisa’ [4]: 11)